Postingan

Sebuah Cerita Nike Ardilla

Gambar
Kisah Nama Nike Ratnadilla Nike sendiri adalah gabungan dari nama Nining dan Kusnadi , awalnya sempat ragu karena telah digabung namanya menjadi Ningku . Tapi Mami lantas teringat salah satu merek sepatu di sebuah toko di Jalan Braga, Bandung yang sewaktu hamil, Papi sering mengajak dirinya ke daerah yang pada tahun 70an menjadi tempat wisata belanja yang sering didatangi orang dari luar negeri. Mami melihat sebuah sepatu waktu itu berlabel Nike (dibaca Naiki), tapi karena orang Indonesia biasa melafalkan Nike dengan Nike saja, sesuai yang tersirat, Papi pun mengabulkannya. Ratnadilla juga merupakan gabungan dua  nama belakang dari Mami dan Papi, Ningsihrat dan Kusnadi . Masih belum puas juga karena yang terkumpul hanya paduan kata RatNadi . Para rekan sejawat di perusahaan Papi bekerja lah yang menyempurnakannya dengan menambahkan huruf double L dan A . RatnaDiLla . Raden Rara Nike Ratnadilla pun menjadi label di beberapa identitasnya kelak.

Sebuah Cerita Nike Ardilla

Gambar
Akhirnya Si  Bungsu pun Lahir Jeritan seorang anak manusia yang lahir di Bandung tanggal 22 September 1939 dari pasangan asal Bandung  Ruminah  dan  Oeoe Oesman  ini sekarang ada yang menyahut. Tangisan seorang bayi perempuan yang diidamkannya sekarang ada dihadapannya, sedang di azdani oleh salah seorang anak kostnya. Air mata keharuan yang mengalir dari sudut matanya menjadi saksi bahwa inilah kebahagiaan seorang wanita. Melahirkan bayi yang entah sampai kapan ada di pangkuannya.        Raden Rara Nike Ratnadilla kemudian diberikan suaminya setelah menunaikan tugasnya di pulau seberang. Dua nama depannya merupakan gelar bangsawan asal tanah Pasundan yang harus disandangnya, karena salah satu orangtuanya adalah keturunan darah biru. Kelahiran anaknya terjadi beberapa hari menuju pergantian tahun tak menjadikannya sesuatu hal yang istimewa. Kelahiran anak bungsunya yang sejenis Siti Hawa, istri Adam merupakan sebuah hal yang teram...

Sebuah Cerita Nike Ardilla

Gambar
Bandung, 27 Desember 1975 Warna bulan semakin memudar, tersapu oleh butiran embun yang terjatuh dari ujung daun menuju satu titik dalam hamparan tanah. Angin lembut yang menerpa wajah pagi membawa harum rumput-rumput muda hingga menjadi aroma alam yang tak bisa benar-benar diambil sarinya.          Di sebuah sudut kota Bandung, seorang wanita berumur tiga puluh enam tahun dipapah oleh beberapa laki-laki, yang tak satu pun dari mereka adalah suaminya. Suaminya yang salah satu staf Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), Meninggalkannya selagi hamil tua untuk menuju tunainya tugas ke sebuah daerah di Sumatera, Medan. Mereka yang mengantarkan perempuan setengah baya itu adalah para penghuni di kamar-kamar kost tempat perempuan yang sedang mempertahankan nyawanya demi lahirnya seorang anak, yang juga diharapkan suaminya yang berada jauh darinya. Dua anak laki-laki mereka yang masih kecil tidak mungkin mengantarkan ibunya ke Rumah Bersalin Ibu Ema (bidan lan...